Monday, April 20, 2009

Review buku A Child Called "It"


Meskipun buku ini sudah cukup lama diterbitkan, tetapi saya pikir buku ini sangat layak untuk di review mengingat bahwa cerita di dalamnya merupakan kejadian nyata yang dialami oleh penulisnya.
Buku yang berjudul A Child Called 'It' ini menceritakan bagaimana tragisnya perjuangan hidup seorang anak. David J. Pelzer, penulis buku ini sekaligus tokoh anak yang diceritakan didalamnya, disiksa oleh ibu kandungnya sendiri. Diceritakan dari sudut pandang penulis sebagai anak lelaki kecil yang dibuat lapar, ditikam, kepalanya diantukkan ke cermin, dipaksa makan isi popok adik kandungnya dan sesendok makan penuh ammonia, dan dibakar di atas kompor gas oleh ibu yang maniak dan alkoholik. Terkadang ibunya mengatakan ia telah melanggar beberapa aturan--jangan berjalan di rumput sekolah!-- tetapi kebanyakan murni sadisme. Yang tidak dapat dipahami, ayahnya tidak melindunginya; hanya seorang guru yang perhatian yang menyelamatkan David.

ini kutipan saat David dipaksa makan isi popok adik kandungnya:

...
...
Ayah mencoba membuat suasana liburan itu lebih
menyenangkan dengan mengajak kami bertiga ke tempat
bermain prosotan yang baru di situ. Russell, yang ketika
itu baru belajar berjalan, tinggal di cabin bersama Ibu.
Pada suatu hari, ketika Ron, Stan, dan aku sedang bermain
di cabin tetangga, Ibu datang ke halaman depan cabin
tetangga itu, lalu berteriak memanggil kami untuk segera
kembali ke cabin kami. Begitu sampai di cabin kami, aku
dimarahi Ibu karena, katanya, suaraku berisik sekali ketika
bermain. Sebagai hukuman, aku tidak diizinkan ikut
bersama Ayah dan kedua saudara laki-lakiku bermain di
tempat prosotan. Aku duduk di sebuah kursi di pojok
dalam cabin. Aku gemetar karena takut, dan dalam hati
aku berharap terjadi sesuatu yang membuat Ayah dan
kedua saudara laki-lakiku tidak jadi pergi ke mana-mana.
Aku tahu Ibu diam-diam punya suatu rencana. Begitu Ayah
dan kedua saudaraku berangkat bermain, Ibu
mengeluarkan sebuah popok yang sudah kotor oleh
kotoran serta air kencing Russell. Ibu mengusapkan popok
kotor itu ke wajahku. Aku ber-usaha tetap duduk diam,
sebab aku tahu kalau aku bergerak, aku akan mendapat
perlakuan yang lebih buruk lagi. Wajahku tetap
kutundukkan. Aku tidak bisa melihat Ibu yang berdiri di
depanku, tetapi aku bisa mendengar desah napasnya yang
berat.

Setelah memperlakukan aku seperti itu--yang bagiku
rasanya lama sekali--Ibu berlutut di sebelah kursi
tempatku duduk, lalu dengan suara pelan ia berkata,
"Makan ini".
Aku terkejut. Kutegakkan kepalaku, tapi tak kupandang
mata Ibuku. "Tidak mau!" kataku dalam hati. Seperti
semua kejadian sebelumnya, menolak perintah Ibu berarti
kesalahan besar. Ibu menempelengi aku. Dengan erat
kupegang kursi tempatku duduk, berusaha untuk tidak
jatuh, sebab bila aku jatuh aku takut Ibu akan
menginjakku.
"Kubilang makan ini!"' bentaknya dengan suara tertahan.
Taktik kuubah: aku mulai menangis. "Bikin dia
mengendur", pikirku. Aku mulai menghitung dalam hati,
mencoba berkonsentrasi. Waktu adalah satu-satunya
kawanku. Tangisanku ditanggapi Ibu dengan pukulan-
pukulannya ke wajahku, dan ia baru berhenti memukulku
saat ia mendengar Russell menangis.

Aku merasa senang meskipun wajahku berlepotan kotoran.
Kupikir, aku bisa menang. Kubersihkan kotoran di wajahku
dengan tangan, lalu mengibaskannya sehingga berceceran
di lantai kayu. Kudengar Ibu bernyanyi lembut untuk
menenangkan Russell, dan aku membayangkan adikku itu
ditimang-timang dalam pelukan Ibu. Aku berdoa supaya
adikku itu tidak tertidur lagi. Sebentar kemudian nasib
baikku lenyap.

Masih dengan wajah tersenyum, Ibu kembali menghampiri
lawannya yang sudah kalah. Ia mencekal kerah belakang
bajuku, lalu menyeretku ke dapur. Di atas meja dapur
kulihat satu lagi popok yang penuh kotoran. Baunya
membuat perutku mual. "Nah, sekarang kau harus
memakannya!" kata Ibu. Pada saat itu sorot mata Ibu
sama dengan sorot matanya dulu ketika ia mau
membakarku di atas kompor gas di rumah. Tanpa
menggerakkan kepala, mataku mencari-cari jam dinding
sebab setahuku ada jam di dinding dapur itu. Tak berapa
lama, aku tahu letak jam dinding itu. Tanpa jam itu, aku
merasa tak berdaya. Aku tahu bahwa aku harus
memusatkan perhatianku pada sesuatu agar
bagaimanapun juga aku bisa menguasai situasi. Sebelum
mataku menemukan jam dinding itu, tangan Ibu
mencengkeram tengkukku.
Sekali lagi ia berkata, "Makan ini!" Kutahan napasku. Bau
sekali kotoran itu. Aku mencoba memusatkan perhatianku
ke bagian atas popok yang ada di hadapanku. Rasanya
lama sekali waktu berlalu. Ibu pasti bisa menebak
rencanaku. Ibu menekan tengkukku sehingga wajahku
jatuh di atas popok kotor itu. Ibu menggesek-gesekkan
kepalaku ke kiri ke kanan di atas popok kotor itu.
...
...




Happy Reading,


Juan Rio Sipayung

0 komentar: